Sabtu, 18 Desember 2010

Transitivity x Causativity


Transitivity x Causativity

Transitivity :  global property of entire clause which transfer the action of the verb – from agent to patient.

Dalam hubungan transitivity ada deep subject dan deep object

Deep subject    = actor
Deep object     = undergoer

Causativity memiliki hubungan yang dekat dengan transitivity. Kalimat yang bermakna kausatif dapat dianalisis ke dalam bentuk transitif (secara transitif)

Contoh :

Bel berbunyi
Ali membunyikan bel (dapat diinterpretasikan) :
Ali menyebabkan bel itu berbunyi.

Menurut Comrie (1989) ,
Ada tiga jenis secara typology :

  1. analitik
  2. morfologis
  3. leksikal

  1. Dua predikat yang berbeda menunjukkan cause dan effect adalah penyebab yang direalisasi oleh kata yang terpisah dari kata yang menunjukkan terjadinya suatu tindakan.

Contoh :

Ia belajar giat karena ingin pintar.
  1. Hubungan antara predikat yang bukan kausatif dengan predikat diberi pemarkah secara morfologis : imbuhan.

Contoh :

Saya naik mobil
Saya menaikkan adik ke mobil.

  1. Verba pada predikat yang bukan kausatif mengungkapkan effect dan predikat yang mengungkapkan effect, cause nya tidak sistematis.

Contoh.

Membunuh dan meninggal.

Saya membukakan adik baju

                        P / U ө
           
Cause < A U event < …. ө …… >


Dari fungsi – makna
Contoh : Reduplikasi – bentuk ulang ini juga merupakan proses morfologis berhubungan dengan bentuk, fungsi dan makna.

Buku  buku-buku ‘jamak’

Untuk mengetahui makna sebuah kata membandingkan dan menggunakan definisi tertentu.
Membandingkan : membandingkan kata dengan kata yang terdekat dengannya.
Definisi : mengetahui komponen dari kata i. e. semantic primitive.
Element yang digunakan untuk mendefinisikan makna kata harus diterima sebagai Semantik primitive sehubungan dengan makna kompleks yang mungkin dihasilkan.

Sebuah kata kerja bisa bervalensi 1, 2, atau 3.
Afiks bisa menambah jumlah valensi sebuah kata kerja atau mengurangi jumlah sebuah kata kerja.

Contoh :

  1. Putu menek (V 1)
  2. Made membaca buku ( V 2)
  3. Bapa Nyemakna Putu ubad ( V 3)
  4. Bukune bacana  ajak Made ( V 1)

Kata kerja terikat seperti : (a) nek belum bermakna dan mempunyai kategori leksikal. Melalui proses morfologi kata terikat ini bisa menjadi kata penuh.
-         Diatesis
Contoh.
-         Tiang nyemak nasi
-         Nasi jemak tiang
Prinsip pokok dalam mengidentifikasi sebuah morfem :
  1. Membandingkan bagian yang berulang dengan substitusi. Apabila bentuk-bentuk berulang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama.

Lingkungan Subjective

Objektife : denotation
Subejctive : connotation
Bangsat – umpatan ‘ denotatif’
Siapa (dimana (dalam situasi apa) berkata demikian (konotatif)
Makna denotative / kontatif harus disesuaikan dengan lingkungan – untuk mendapatkan valuenya.

Lingkungan- lingkungan :
Lingkungan struktur : ada symbol- symbol yang berhubungan antar symbol-simbol tersebut.
She : Mrs. Women, girls, Ms
Lingkungan Kontekstual : sebuah bentuk terdiri atas kolokasi yang bermakna dimana bentuk itu mungkin ada.

Contoh :
Rained : butter, bacon
Addled : egg, brain
Out      : look out
 drop out
 work out etc.

Makna Morfem dan Sekwennya.

Ada 3 prinsip dalam menentukkan analisa Semantik serta pengklasifikasiannya :
1.      Tidak ada kata-kata yang benar bersinonim
2.      Dapat ditentukkan makna sebuah morfem dari lingkungannya
3.      Tidak sesuainya antara system dan symbol

1.      E 1 – E 2 / E 2 – E 1 / E 1 – E 2 / E 2 E1
2.      Makna sebuah morfem bisa ditentukkan oleh setting sosiolinguistik dan linguistiks.

a.       Lingkungan : struktur dan kontek
b.      Non Lingkungan : objective dan subjective.

Lingkungan Obejctive :
Morfem dan kombinasi nya dapat dijelaskan dengan berbagai macam fenomena, untuk makna : symbol.
Contoh :
Morfem – morfem mungkin memiliki symbol seperti : kuda, sapi, rumput, dll.
Didala, di belakang, dll.
Lari, berenang, sakit, penuh , dll

Apabila satuan yang mempunyai struktur fonologis yang sama itu mempunyai arti yang berhubungan ; satuan itu merupakan 1 morfem, apabila distribusinya tidak sama dan merupakan morfem yang berbeda distribusinya sama.

/ seat / ; [si:t] vs / sit / ; [sit] morfem  yang berbeda

Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem
Prinsip pengenalan Morfem :
    1. Satuan-satuan yang mempunyai struktur; arti makna yang sama merupakan satu morfem ; buka + kan, di+buka
    2. Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologi yang berbeda merupakan satu morfem bila satuan itu mempunyai arti atau makna yang sama, dan perbedaan srtuktur fonologisnya dapat di jelaskan secara fonologis maka satuan-satuan itu merupakan satu morfem atau merupakan alomorf dari morfem yang sama.
meN  - men -  mem – meng - meny
    1. Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologi yang berbeda sekalipun perbedaanya tidak dapat dijelaskan secara fonologis masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunyai arti atau makna yang sama akan mempunyai distribusinya komplementer.
Ber – alomorfnya ber-, be, bel

    1. Apabila dalam deretan struktur suatu satuan berparalel dengan suatu kekosongan itu merupakan morfem zero.

She goes to Uni.
I go to Uni.

SYSTEMIC FUNCTIONAL LINGUISTIC *DAWAN*

BAHASA DAWAN

BAHASA INDONESIA
ARTI LAIN
Atoni Pah  Meto
Orang Timor
  • Penduduk tanah daratan /pulau. atau Orang yang tinggal di pedalaman. 
  •  Atoni dalam pengertian bahasa Dawan berarti : manusia atau orang, laki-laki.
  •  Atoni adalah nama sapaan yang digunakan oleh orang-orang Dawan sendiri untuk menyapa sesamanya yang dikenal baik sedang berjalan lewat ;atau sapaan bagi mereka yang sedang berjalan dalam kegelapan dan tidak kenal.

Uis Neno
  • Usi = raja, neon = langit atau hari
  • Raja langit
  • Ungkapan ini identik dengan matahari yang memiliki “manas” (panas)
Dawan
Orang Timor
  • Sebuah nama kepada tetangga mereka yang tinggal diperbatasan bagian timur laut, yakni orang Belu.
  • Orang Dawan disebut orang Bunak, sesuai bahasa mereka, orang Rawan adalah mereka yang mendiami daerha yang biasa dikatakan rawan atau krits ditinjau dari aspek geografis dan topografis, yang dikombinasikan dengan data curah hujan dan tingkat kesuburannya
  • Nama Dawan sering identik dengan pegunungan dan pedalaman. Bila orang menyebut nama orang Dawan, terlintas dalam pikiran atau ingatan adalah ‘orang gunung’ atau orang yang itnggal di pedalaman
  • Kata Dawan dalam bahasa suku Dawan adalah asing. Karena tidak memiliki huruf-huruf d dan w dalam pembendaharaan kata-katanya.
Apinat ma Aklahat
Yang menyala dan memba
  • Apinat = menyala, bersinar dan bercahaya,
  • Sedangkan aklahat = peningkatan dari apinat arti membara dan menghanguskan
Amoet ma Apakaet
Yang mencipta dan membentuk
  • Amoet = menciptakan segala sesuatu sedangkan
  •  Apakaet = ungkapan yang digunakan menggambarkan kemampuan Pencipta semesta alam sebagai seniman terbesar segala-galanya.
  • Ungkapan Apaket dapat dijelaskan sebagai perencana, pencpita, pelaksana  yang terbaik yang tak tertanding.
Ahaot ma Afatis
Kebapaan dan keibuan
  • Ahaot berarti memberi makan dan minum secara jasmani, bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan lahiriah manusia,
  • Sedangkan Afatis artinya yang mengasuh, yangmemelihara atau merawat manusia bukan hanya jasmani tapi juga rohani atau batiniah.
Afinit ma Amnesit
Berarti melampaui dan melebihi segala sesuatu dalam ukuran tinggi dan isi.
  • Afinit berarti lebih panjang dan lebih tinggi.
  • Anesit juga memiliki pengertian lebih yaitu lebih banyak, lebih besar.

SEVEN TYPES OF MEANING

SEMANTICS



 SEVEN TYPES OF MEANING


A word is the smallest unit of spoken language which has meaning and can stand alone, it is a written representation of one or more sounds which can be spoken to represent an idea, object, action, etc. in order to be understood by the people, a word must have a meaning.
Most words have more than one meaning, it is the characteristic of words that a single word may have several meaning, in fact, words may play an enormous part in our life. Words are used to express something and also conveys feelings about we are describing. Words are used not in isolation but related to human situation. It is through our experience with them in human situation that they take on meaning.
If we talk about words, we can not avoid talking about the study of meaning (semantics). The meaning of word is often complex, having such component   as a picture, an idea, a quality, a relationship and personal feelings and association. Lyons 1977:643 in Palmer1981:40-41) suggested that we should draw a distinction between sentence meaning and utterance meaning, the sentence meaning being directly predictable from the grammatical and lexical features of the sentence, while utterance meaning includes all the various types of meaning, then, is the part of meaning of a sentence that we are going to discuss in the next following. Lyons states that, utterance meaning is the part of meaning of a sentence that is directly related to grammatical and lexical features, but is obtained either from associated prosodic and paralinguistic features or from the content, linguistic and non-linguistic. The seven types of meaning are as follows:      


  1. Conceptual Meaning.
Conceptual meaning is sometimes called denotative meaning or cognitive meaning, it is widely assumed to be the central factor in linguistic communication. Larson noted that denotative meaning is also called as primary meaning, that is the meaning suggested by the word when it used alone. It is the first meaning or usage which a word will suggest to most people when the word is said in isolation. it is the meaning  learned early in life and likely to have reference to a physical situation (Larson, 1984: 100)
      The denotation of word is its agreed-upon sense-what it refers to, stands for, or designates, a part from the feeling it may call up, and this again is able for a good deal on the context the words that appears in.
      It is said that the aim of denotative meaning is to provide, for any given interpretation of a sentence, a configuration of abstract symbols, in which shows exactly what we need to know if we are to distinguish that meaning from all other possible sentence meaning in the language.

  1. Connotative Meaning.
As we experience, words are human situations, they not only take on certain denotation, but also often acquire individual flavors. They have come to have emotive tone, the associations, and suggestiveness of the situation in which they have been a part. For example let us examine the words “brink”. This denotes on “edge”. However in the phrase “The brink of the cliff” or” the brink of disaster”, this word suggest danger and its emotive tone is that of fear.
According to Leech (1974: 40-41) connotative meaning is the communicative value an expression has by virtue of what it refers to, over and above its purely conceptual content. It will be clear if we are talking about connotation, we are in fact talking about the “real word experience”. Someone associates with an expression when someone uses and hears it. The fact that if we compared connotative meaning with denotative meaning is that connotations are relatively unstable; that is they vary considerably we have seen, according to culture, historical period, and the experience of the individual. Although all the speaker of particular language speaks the language exactly the same conceptual framework, actually each of them has individual perception of words. Connotative meaning is indeterminate and open in the same way as our knowledge and belief about the universe are opened-ended. Connotations play a major role in the language of literature, of politics, of advertising, and a greeting card.

  1. Stylistic Meaning.
Stylistic meaning is that which a piece of language conveys about the circumstances of its use. A recent account of English has recognized some main dimensions of stylistic variation. For instance:
1.      They chucked a stone at the cops, and then did a bunk with the loot.
2.      After casting a stone at the police, they absconded with the money.
Sentence (1) could be said by the two criminals, talking casually about the crime afterwards; sentence (2) might be said by the chief of the police  in making the official report; both could describe the same happening (Leech, 1974: 15)

  1. Affective Meaning.
Affective meaning is a sort of meaning which  an effect the personal feeling of speakers, including his/her attitude to the listener, or his/her attitude to something he/she talking about. In order to get people attention to be quiet, we might say either (1)”I’m terribly sorry to interrupt,  but I wonder if you would be so kind as to lower your voice as a little” or (2) “Will you belt up”. Factors such as intonation and voice timbre are also important here. The impression of politeness in the sentence (1) can be reserved by tone of biting sarcasm; sentence (2) can be turn into a playful remark between intimates if delivered with the intonation of a mild request.

  1. Reflected Meaning.
Reflected meaning involves an interconnection on the lexical level of language, it is the meaning, which arises in case of multiple conceptual meaning, when one senses of word forms part of our response to another sense. For instance, on hearing the Church service, the synonymous expressions The Comforter and The Holy Ghost both refer to the Third Trinity, but the Comforter sounds warm and comforting, while the Holy Ghost sounds awesome.

  1. Collocative Meaning.
Collocative meaning consists of the associations a word acquire s on account of the meanings of the words, which tends to occur in its environment. For instance the words pretty and handsome share common ground in the meaning of good looking. But may be distinguished by the range of noun in which they are like to occur or collocate; Pretty woman and handsome man. The ranges may well match although they suggest a different kind of attractiveness of the adjectives.

7.  Thematic Meaning.
This is the final category of meaning, thematic meaning is the meaning that is communicated by the way in which the speaker or writer organizes the message, in terms of ordering, focus, and emphasis. It is often felt an active sentence such as (1) below has a different meaning from its passive equivalent (2) although in conceptual content they seem to be the same (Leech. 1974: 19)
1.      Mrs. Bessie Smith donated the first prize.
2.      The first prize was donated by Mrs. Bessie Smith
We can assume that the active sentence answers an implicit question “what did Mrs. Bessie Smith donate?”, while the passive sentence answer the implicit question “who donates the first prize?”, that in other words (1) in contrast to se (2) suggest that we know who Mrs. Bessie Smith.

References:
Larson, Mildred, L. 1984. Meaning based Translation. USA: University Press of America.
Leech, G.N. 1979, Semantics. Auxland: Pengin Books.
Palmer, I.R. 1981, Semantics, Cambridge University Press.
Tarigan, Guntur Henry. Prof. Dr. 1993. Pengajaran Semantik. Penerbit Angkasa Bandung.


Bahasa Sebagai Struktur, Wacana, dan Kondisi Eksistensial


Bahasa Sebagai Struktur,
Wacana, dan Kondisi Eksistensial


BAHASA adalah ajang pertemuan berbagai penelitian seperti fenomenologi, linguistik, filsafat bahasa, teologi, psikoanalisis, antropologi budaya, sosiologi, historiografi, ilmu perbandingan agama, dan seterusnya. Lewat tulisan ini, bahasa diletakkan sebagai medium manusia dalam berhubungan dengan dunia luar dirinya seperti alam, makhluk infrahuman, sesama manusia, sekaligus mengonstitusikan hal ihwal di luar dirinya. Bahkan menegaskan bahwa bahasa merupakan media penegas keberadaan manusia itu sendiri.
Asumsi strukturalis
Belakangan ini linguistik kontemporer sangat kuat dipengaruhi pendekatan struktural. Pendekatan struktural sebagai metode yang otonom boleh dikatakan bermula dari terbitnya De Saussure, "Course de Linguistique Generale" di Paris tahun 1916. Salah satu gagasan De Saussure yang sudah menjadi klasik ialah distingsi langue (bahasa sebagai sistem tanda atau kode) dan parole (bahasa sebagai wacana).
Parole bersifat individual dan intensional sebab melalui ucapan seorang pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain; parole selalu merupakan peristiwa yang kebetulan dan sewenang-wenang (arbitrary). Langue, sebaliknya, merupakan struktur kolektif dan anonim, yang relatif stabil dan merupakan aturan yang mengikat masyarakat bahasa. Akan tetapi sesudah membuat distingsi ini de Saussure langsung mengambil keputusan epistemologis dengan memberi prioritas kepada langue.
Pada mulanya pendekatan struktural dipakai untuk meneliti satuan bahasa yang lebih kecil dari kalimat, seperti fonem dan morfem. Akan tetapi dengan cepat sekali meluas dan diterapkan pada bidang lainnya. Pertama, model ini dipakai untuk meneliti wacana yang lebih luas dari kalimat. Propp misalnya menggunakannya untuk meneliti cerita-cerita rakyat Rusia. F. Braudel dalam penulisan sejarah dan Greimas dalam penelitian fiksi di Prancis. Kedua, struktural selanjutnya dipakai untuk meneliti kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya melampaui studi bahasa yang langsung.
Perluasan aplikasi model struktural dari fonemik dan morfologi ke bidang kebudayaan dalam arti luas ini hanya mungkin dibuat dengan asumsi dasar dari pihak strukturalisme yaitu bahwa wacana dan pelbagai aspek kebudayaan tersusun menurut satuan bahasa yang lebih kecil dari kalimat. Justru asumsi inilah yang harus dipertanyakan secara kritis untuk melihat batas keabsahannya. Dan karena strukturalisme bertolak dari studi linguistik, kritik terhadap strukturalisme juga harus dimulai dari bahasa.
Salah satunya dikemukakan linguis bernama Hjelmslev lewat "Prolegomena to a Theory of Language". Linguis inilah yang pertama-tama mendefinisikan "struktur" sebagai suatu kesatuan otonom yang terdiri dari relasi-relasi intern. Teori Hjelmslev dapat disebutkan dalam empat postulat berikut ini; 1) Bahasa adalah objek penelitian sebuah ilmu empiris bernama linguistik. 2) Dalam bidang ilmu bahasa ini kita harus membedakan linguistik sinkronis (ilmu tentang bahasa sebagai sistem) dan linguistik diakronis (ilmu tentang bahasa dan perubahannya). Strukturalisme meletakkan linguistik diakronis di bawah linguistik sinkronis sebab sistem yang stabil lebih dipahami dari pada perubahan. 3) Di dalam struktur bahasa tidak ada tanda atau kode yang memiliki arti dari dirinya sendiri. Arti sebuah tanda semata-mata bergantung pada hubungan timbal balik antara tanda-tanda dalam struktur tersebut. Bahasa adalah sebuah sistem yang tertutup yang terdiri dari seperangkat unsur-unsur kecil yang terbatas, misalnya jumlah fonem, morfem, dan kaidah dalam setiap bahasa niscaya bersifat terbatas.
Karena bahasa merupakan sebuah sistem tertutup, arti sebuah tanda bahasa tidak bergantung dari maksud subjektif pembicara ataupun dari referensinya pada dunia objektif. Artinya bergantung semata-mata dari oposisi antara signifier dan signified. Dengan kata lain, makna sebuah tanda dalam pengertian strukturalis adalah nilai diferensialnya. Apabila kita mengikuti postulat strukturalis secara konsekuen, pada akhirnya bahasa kehilangan statusnya sebagai wacana dan dengan itu kehilangan referensinya pada subjek dan pada dunia konkret. Bertolak dari sini beberapa pemikir secara ekstrem sampai kepada teori tentang the death of subject, pengingkaran manusia sebagai subjek yang bertanggung jawab. Teori bahasa ternyata memiliki dampak yang serius.
Pendekatan struktural telah menyumbangkan hasil-hasil penelitian dalam linguistik dan ilmu sosial, tetapi sebuah teori bahasa yang mengabaikan wacana mau tak mau akan membawa kita kepada pemahaman yang tidak seimbang mengenai bahasa dan ia malahan dapat membawa dampak negatif bagi pemahaman kita tentang eksistensi manusia. Oleh karena itulah dari kalangan linguis sendiri muncul reaksi membela wacana, tanpa mengabaikan hasil yang telah dicapai oleh pendekatan struktural. Noam Chomsky, misalnya, tidak lagi berbicara tentang forma, tetapi transformasi, bukan tentang struktur, melainkan strukturasi. Teorinya dikenal dengan nama transformational generative grammar. Disebut generative karena ia terutama berurusan dengan kreativitas pemakai bahasa: bagaimana seorang pembicara menghasilkan kalimat-kalimat baru dalam jumlah yang praktis tak terbatas. Disebut transformational karena ia menunjukkan bagaimana terjadi transformasi antarkomponen semantis (yang disebutnya deep structure) dan komponen fonologis (surface structure).
Seorang linguis lain, Benveniste, secara tegas membedakan semiotik dan semantik, dengan pengertian bahwa yang satu tidak bisa disubordinasikan pada yang lain. Semiotik berurusan dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue), sedangkan semantik menyelidiki wacana (discourse). Unsur terkenal wacana adalah kalimat, unsur terkecil langue ialah tanda. Bidang semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.
Sebenarnya bahasa sebagai sistem tanda hanya bersifat potensial dan abstrak. Bahasa menjadi aktual dan konkret hanya dalam dan melalui wacana. Struktur tanpa wacana bersifat mati, wacana tanpa struktur adalah proses yang kacau dan tak terpahami. Atas dasar ini Ricoeur merumuskan ciri-ciri wacana sebagai berikut: 1) Wacana adalah dialektik peristiwa dan arti. Peristiwa terjadi hanya sekali dan tak terulang, sedangkan arti dapat diidentifikasikan dan direidentifikasikan; ia bisa diulangi, diungkapkan dengan kata lain, atau diterjemahkan ke dalam bahasa asing. 2) Kalimat sebagai unit terkecil wacana, menyampaikan sesuatu tentang sesuatu melalui gabungan dua fungsi dalam kalimat yang sama: fungsi identifikasi dan fungsi prediksi. 3) Arti wacana bersifat noetis-noematis. Noetis artinya mengacu pada maksud pembicara. Noematis berarti menunjuk kepada realitas sebagaimana disarankan oleh ucapan itu. Memang maksud pembicara dianyatakan di dalam dan melalui arti ucapan, tetapi antara keduanya bisa terjadi kesenjangan (baik karena ketaksadaran individual, maupun karena kata atau kalimat bisa memiliki arti majemuk yang tidak seluruhnya bisa dikontrol oleh maksud eksplisit pembicara). 4) Wacana bisa dilihat secara subyektif adalah tindakan polivalen seorang pembicara. Dan wacana bisa dilihat secara obyektif, adalah dialektika antara makna dan referensi (sense and reference). Sense adalah arti ideal yang tertera di dalam wacana itu, sedangkan reference adalah realitas yang ditunjukkannya.
Singkatnya tentang wacana, ada dua simpulan bisa diperoleh sebagai bukti pertentangan dengan asumsi dasar strukturalisme. Pertama, bahasa bukanlah sebuah objek, melainkan mediasi. Mediasi antara aku dan dunia disebut referensi, mediasi antara aku dan sesama disebut komunikasi, mediasi antara aku dan diriku sendiri disebut pengenalan diri. Secara lebih tegas lagi: bahasa adalah kondisi eksistensial manusia sebagai makhluk yang mengada secara sadar dalam dunia (Gadamer,1977: 59-68). Dengan demikian, aliran pemikiran hermeneutik (seperti Heidegger, Gadamer, Ricoeur) dewasa ini menemukan kembali secara baru definisi manusia yang diberikan Aristoteles: zoon logon echon, yang secara kurang tepat diterjemahkan oleh para pemikir zaman skolastik sebagai animal rationale.
Kedua, apabila kita melihat bahasa secara utuh sebagai sistem dan proses, sebagai struktur dan wacana, kita harus mengatakan bahasa adalah penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas (language is an infinite use of means). Dalam pemahaman bahasa yang demikian kita perlu menggarisbawahi kreativitas manusia.
Bersambung…………..


Selasa, 14 Desember 2010

LEARNING WORD AND THEIR MEANING

Salah satu kebingungan yang sering dihadapi oleh seseorang yang mempelajari bahasa asing sebagai bahasa kedua selain sistem bunyi  adalah masalah makna suatu kata. Kebingungan ini dapat disebabkan dalam mengekspresikan makna suatu kata. Bagi pembelajar bahasa asing sering memahami makna dengan mencari padanan suatu kata ke dalam bahasa native. Hal ini perlu dihindari dalam pembelajaran suatu bahasa asing karena bisa menyebabkan suatu kesalahan.  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan kata dan makna bahasa asing adalah sebagai berikut:
-          Memberikan pemahaman dan penggunaan  kata-kata bahasa asing yang diajarkan, sehingga pembelajar bisa memahami  kata-kata tersebut dan bisa menggunakan kata tersebut secara alamiah.
contoh bagi penutur bahasa Inggris tidak akan mengalami kebingungan dengan penggunaan makna kata  get up, get out, get along, get over,  get away,  take up, take over, take on, dll. Namun bagi orang asing yang mempelajari  bahasa Inggris sebagai bahasa kedua akan mengalami kebingungan dengan penggunaan kata-kata tersebut.  Contoh lain dalam bahasa Jepang untuk verba memakai adalah kiru dan haku.
1.      Kimono wo kiru          ‘memakai  kimono’
2.      Kutsu o haku               ‘memakai sepatu’
Verba kiru digunakan untuk memakai baju sedangkan verba haku digunakan untuk memakai sepatu, kaos kaki dan celana. Hal ini akan sering menimbulkan kesalahan bagi pembelajar bahasa jepang, bila tidak mengetahui pemahaman tentang kedua verba tersebut. Sehingga diperlukan pemahaman dan penggunaan suatu kata bahasa asing yang dipelajari. 
-          Makna suatu kata tergantung pada kontek kalimat
            Makna kata juga bisa juga tergantung pada kontek sebuah kalimat. Kata yang sama bisa digunakan pada situasi yang berbeda. Misalnya pada contoh di bawah ini:
1.      I getting a book in  the library
2.      I getting a book in the bookstore
Kalimat 1 dan 2 sama-sama menggunakana kata get namun kata get ini berbeda berdasarkan konteknya. Pada kalimat 1 karena tempatnya di perpustakkan sehingga kata get menunjukkan meminjam sedangkan pada kalimat kedua karena situasinya di toko buku sehingga kata get menunjukkan membeli.
Contoh lain  dalam bahasa inggris dimana satu kata  dapat digunakan  dalam situasi yang berbeda.
Kata leaving dalam bahasa Inggris , dapat digunakan pada situasi yang berbeda seperti di bawah ini:
-          I am leaving you this book
-          I am leaving for paris
Sedangkan dalam bahasa prancis tidak bisa digunakan suatu kata yang sama untuk mengungkapkan situasi yang berbeda, seperti yang ditunjukkan kalimat di bawah ini:
-          Je vous laisse ce livre ( I am leaving you this book)
-          Je pars pour paris ( Iam leaving for paris)

-          Kata-kata bahasa asing yang terdengar mirip dalam bahasa native
Ada beberapa kata asing yang sama bunyinya dengan kata-kata bahasa native namun memiliki makna yang berbeda. Misalnya kata libreria (librairie) dalam bahasa spanyol dan prancis berarti toko buku sedangkan dalam bahasa inggris library berarti perpustakaan.



Berikut ini adalah petunjuk utama bagi pembelajar bahasa asing:
1.      Makna suatu kata kadang hanya terdapat pada situasi khusus. Makna suatu kata asing diketahui berdasarkan  struktur dimana kata itu digunakan dan dengan kata yang bergabung dengannya.
2.      Semakin berbeda situasi penggunaan kata yang dipelajari dalam bahasa asing bila pembelajar bahasa asing tidak memahami penggunaan kata tersebut maka kemungkinan melakukan kesalahan itu semakin besar.
3.      Suatu kata lebih baik dipelajari dalam situasi kontek dan struktur gramatikal. Tanpa konteks  tidak akan diketahui mana yang tidak sesuai dengan penggunaanya.
    
 A.    Replacement procedures
Salah satu cara mengajarkan anak – anak untuk membuat kalimat baru atau mengkreasikan sebuah kalimat yang baru adalah dengan cara replacement procedures atau prosedur penggantian. Melalui cara ini setidaknya terdapat empat buat cara untuk membuat dan mengkreasikan sebuah kalimat baru yang dapat diajarkan pada anak – anak. Keempat cara tersebut adalah:
1.      Nominal replacement (penggantian nominal)
Cara membuat kalimat baru melalui cara ini adalah dengan mengganti nominal yang ada dengan nominal yang lain.
Contoh:
-          I saw the man              I saw the dog

2.      Pronoun replacement (penggantian
Melalui pronoun replacement yaitu mengganti sebuah noun atau nomina sebuah kalimat dengan sebuah pronominal, selain itu juga dapat mengganti sebuah pronominal dengan pronominal yang lainnya.
Contoh:
-          I saw the man              I saw him
-          We saw the man          They saw the man

3.      Verb replacement (penggantian verba / Kata kerja)
Membuat kalimat baru dengan cara ini adalah dengan menggantikan kata kerja yang sudah ada dengan kata kerja yang lainnya yang memiliki arti yang sama atau konotasi yang sama.
Contoh:
-          Robert will follow the orders              Robert will understand the orders

4.      Adjective replacement (Penggantian kata sifat)
Dengan cara ini, mengajarkan untuk membuat kalimat baru pada anak – anak dapat dilakukan dengan cara mernggantikan adjective yang sudah terdapat dalam kalimat dengan adjektif yang lain yang memiliki konotasi makna yang sama.
Contoh:
-          My good friend knows the answer                 My old friend knows the answer

5.      Adverb replacement (penggantian
Cara membuat kalimat baru melaui cara ini dapat dilakukan dengan mengganti adverb yang sudah ada dengan adverb lainnya.
Contoh:
-          Robert works continuously                 Robert works slowly

A.    Basic expansion operation
Di dalam Basic expansion, pembuatan kalimat baru dapat dilakukan melalui perluasan kalimat aslinya dengan cara menambahkan beberapa kata atau memperluas kata. Di dalam Basic Expansion setidaknya terdapat tiga cara pembuatan kalimat baru melalui perluasan, yaitu:
1.      Verb Expansion (Perluasan verba / Kata kerja)
Perluasan sebuah kata kerja
Contoh:
-          Anita studies all the time                    Anita had studied all the time

2.      Adverbial expansion (berluasan
Perluasan dengan cara ini yaitu dengan menambahkan adverb kedalam sebuah kalimat yang sudah ada.
Contoh:
-          Charles sings              Charles sings beautifully

3.      Noun expansion (perluasan nomina / kata benda)
Perluasan nomina ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan melakukan beberapa modifikasi atau perubahan pada adjektif atau perubahan.
Contoh:
-          The boy is here                        The boy with the paper is here.