Masing-masing daerah memiliki khasanah kebudayaan sendiri. Khasanah kebudayaan itu sangat beragam. Bahasa sebagai satu aspek kedudayaan memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya untuk berkomunikasi biasa tetapi juga untuk menyampaikan maksud-maksud khusus. Berbicara tentang kebudayaan, akan mengingatkan kita tentang pendapat Kluckholm dan Kelley (1945) yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu system yang dapat bersifat eklpisit maupun implicit tentang cara hidup yang digunakan oleh semua orang atau sebagain dari kelompok orang untuk saat tertentu. Maksud-maksud khusus tersebut dapat diungkapkan secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu berlaku juga bagi masyarakat Dawan yang menggunakan bahasa untuk mengungkapkan maksud-maksud khusus dengan cara tak langsung. Salah satu diantaranya adalah tuturan Natoni.
Banyak pakar Semantik berasumsi bahwa apabila seseorang memiliki kemampuan yang baik terhadap kajian semantic, akan baik pula terhadap kajian linguistic lainnya yaitu semiotic, pragmatic dan wacana. Keterkaitan antar bidang ini sangat sinergis. Walaupun semantic dan pragmatic saling berkaitan karena keduanya berkaitan dengan kajian makna, namunkeduanya memiliki penekakan yang berbeda yaitu semantic berisikan nilai kebenaran (mengkaji makna secaraliteral atau harfian) sedangkan pragmatic kurang memiliki nilai kebenaran karena pragmatic mengkaji makna konotasi atau kiasan. Apabila studi tindak tutur dihubungkan dengan kajian semantic dan pragmatic, makna lokusi ada pada lingkup kajian semantic, sedangkan makna ilokusi dan perlokusi merupakan lingkup kajian pragmatic (Leech, 1981). Pendapat Leech didukung oleh Bright (1992:395) yang mengatakan bahwa walaupun sejumlah pakar menggunakan istilah semantic hanya pada “study of sense and sense relation” tetapi kajian pragmatic juga sangat penting karena mencoba mencoba menggabungkan studi tentang makna (makna denotasi) dan studi tindak tutur.
Ada pembedaan oleh Austin dalam teori TINDAK TUTUR antara tiga jenis tindak yang terlibat dalam atau disebabkan oleh UJARAN sebuah kalimat. Tindak itu adalah tindak lokusioner, ilokusioner dan perluksioner. Tindak lokusioner adalah pengujaran sesuatu yang bermakna dan dapat dimengerti. Misalnya ; mengujarkan kalimat Pukullah ular itu adalah tindak lokusioner jika pendengar mengerti kata-kata pukul, ular, itu dan dapat mengidentifikasi ular yang diacu. Tindak ilokusioner adalah menggunakan kalimat untuk membentuk suatu fungsi. Misalnya ; Pukullah ular itu bisa dimaksudkan sebagai perintah atau nasihat. Tindak Perlokusioner adalah hasil atau efek yang dihasilkan oleh pengujaran sesatu tadi. Misalnya, memukul ular (yang dilakukan oleh pendengar) bisa merupakan tindakan perlokusi. (Contoh-contoh diatas ; dikutip dalam perkuliahan Semantik oleh Prof. Sutjiati Beratha)
Pembedaan – tiga oleh Austin diatas kurang banyak dipakai dibandingkan dengan pembagian dua antara isi proposional sebuah kalimat (yaitu proposisi yang diungkapkan atau dikandung oleh kalimat) dan daya ilokusioner atau efek yang dimaksud dituju) dari tindak tutur yaitu fungsinya sebagai perintah, permintaan, komando dan sebagianya.
Dalam linguistic, semantic proposisi adalah makna dasar yang diungkapkan kalimat. Proposisi terdiri dari (1) sesatu yang disebut atau dipercakapkan (dikenal) sebagai argument atau entitas maujud dan (2) suatu penjelasan (pernyataan) atau predikasi yang dibuat tentang argument. Sebuah kalimat bisa mengungkapkan atau mengadung lebih dari satu proposisi. Contoh.
Kalimat Proposisi yang melandasi
Teman Ani, Tuti seorang dokter, Ani mempunyai teman.
suka apel Teman itu bernama Tuti.
Tuti adalah seorang dokter.
Tuti suka apel.
Dalam teori tindak tutur dibedakan antara makna proposional daya ilokusioner kalimat itu yaitu penggunaan kalimat dalam komunikasi, misalnya sebagai permintaan, peringatan dan sebagainya.
Di dalam Speech Acts, J. R. Searle mengemukakan bahwa secara prgrmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur di dalam berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan untuk melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan (perllocutionary act) (Searle, 1969 :23 – 24). Lebih lanjut Searle berturut-turut ketiga jenis tindakan itu disebut sebagai the act of saying something, the act of doing something dan the act of affecting someone. Menurut Searle, pada periode sebelum perang tadi memang banyak kecerobohan para filosof berbicara tentang penggunaan uangkapa kecuali Austin; mereka tidak selalu membeda-bedakan berbagai jenis “penggunaan” yang dapat ditempati oleh ungkapan. Semula, Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan (pernyataan, pemerian dan sebagainya) dan ujaran yang melakukan sesuatu misalnya memperingatkan, minta maaf dan sebagainya. Pembedaan ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan (kosatif) dan ujaran yang tidak berupa tindakan(perfomatif). Namun dalam artikelnya How to do things with words, ia mengubah teori aslinya itu. Ia mengemukakan bahwa ujaran kosatif juga terbukti bisa menjdai tindak tutur (speech act) yaitu melakukan tindak (seperti perfomatif). Membuat sesuatu pernyataan atau memerikan sesuatu sama-sama membentuk tindak tutur seperti halnya membuat janji atau memberi perintah. Jadi apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran khusus (perfomatif) sekarang dimasukkan kedalam ujaran umum (konstatif), sehingga kelas tindak tutur. Austin menyebut semua tindak tutur ini (pernyataan, meminta maaf, memperingatkan, berjanji dan sebagianya) dengan tindak ilokusioner (illocutionary act), dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek (hasil) tertentu terhadap pendengar (lawan tutur) seperti membujuk, meyakinkan, menakutkan, membosankan, menyenangkan, menggoda yang disebutnya tindak perlokusioner.
Lebih lanjut Ia menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak lokusioner. Menurut Searle, Austin membuat pembedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna” dia juga membedakan antara tindak ilokusioner dan tindak lokusioner yang dibentuk ketika penutur mengeluarkan ujaran. Pembedaan itu saying, tidak begitu jelas, juga tentang pengertian makna dan tindak ilokusioner. Makna suatu ujaran, sebagaimana dipikirkan oleh Austin, selalu mengandung pembatasan daya, dan kadang-kadang seperti “Saya minta maaf “ – makna ujaran itu bisa menghilangkan (menghapuskan) daya ; artinya ; disitu tidak lebih hanya ada daya ketimbang maknanya ; tetapi sangat sering makna itu ; walaupun membatasi data, ia tidak menghapuskannya.
Selanjutnya dikatakan, “A locutionary act is an not act of saying something ; an illocutionary act is an act we perform in saying something.”. Tindak lokusioner adalah tindak (dari) mengatakan sesuatu ; tindak ilokusioner adalah tindak yang kita bentuk dalam (atau ketika) mengatakan sesuatu). Dalam mengatakan apa yang kita matakan itulah kita melakukan.
Searle mengingatkan bahwa teori-teori diatas mengasumsikan tujuan bahasa satu-satunya ialah merepresentasikan atau mengkomunikasikan informasi actual dan memperlakukan unsur-unsur bahasa sebagai sesuatu yang mempresentasikan atau sesuatu yang benar atau salah, lepas dari tindak atau maksud penutur dan pendengarnya. Ini berarti kajian mereka juga lepas dari penggunaan bahasa.
ILOKUSI DAN PERLOKUSI DALAM TUTURAN NATONI
PADA MASYARAKAT DAWAN
Speech Act (Tindak Ujaran)
Dalam mengujarkan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan kalimat itu. Tetapi, ada kalanya sambil mengucapkan kalimat, seseorang menindakkan sesuatu. Misalnya, seorang ibu pondokkan putri berujar kepada tamu laki-laki’ anak pondokkannya yang tergambar dalam dialog berikut ;
1. Ibu : Sudah pukul berapa, Yan?
Yan : Pukul 12, Bu
2. Ibu : Sudah pukul berapa Yan?
Yan : Ya, Bu.
Berdasarkan dialog diatas, ibu tidak menghendaki jawaban pada dialog (1). Dengan kata lain ia tidak meminta jawaban ( informasi) yang sesuai dengan pertanyaan yang disampaikannya melalui kalimat itu. Menghendaki tamu menindakkan sesuatu.
Menurut kaca mata pragmatic, orang bertutur termasuk – ibu dalam dialog tersebut diatas, tidak sekedar mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk berkomunikasi, tetapi ingin melakukan sesuatu (the act of doing something) (menyanjung, mengecam, mengkritik, memohon)
Ilokusi dan Perlokusi dalam Natoni bagi masyarakat Dawan
Istilah tuturan disejajarkan dengan istilah tindak ujar, atau tindak ilokusi, sebuah istilah yang dipakai oleh Austin (Leech, 1962). Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti makna sebuah tuturan merupakan usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi tuturannya. Oleh karena itu, ujaran dapat diartikan sebagai bentuk tindak verbal yang dihasilkan melalui komunikasi lisan atau tulisan dalam wujud-wujud statis yang abstrak (abstract static entities), seperti kalimat dalam sintaksis dan proposisi dalam semantic.
Bentuk ilokusi dan perlokusi dalam Natoni pada masyarakat Dawan, terlebih dahulu digambarkan konteks tuturan tersebut. Tuturan tersebut selalu disampaikan oleh ayah atau laki-laki yang lebih tua dalam kerabat keluarga yang bersangkutan pada saat seseorang anak akan pergi merantau untuk menuntut ilmu (studi) dalam jangka waktu yang lama dan jarak yang jauh. Tuturan itu disampaikan sebelum acara jamuan ketika sanak saduara, termasuk tetangga di sekitarnya sudah berkumpul dalam satu ruang. Si ayah bertutur kepada anaknya dalam keadaan yang penuh khidmat dan didengar semua yang hadir.
Selain itu, tuturan Natoni bisa juga disampaikan ayah ketika berada dimakam leluhur sambil membakar kemenyan atau lilin. Tuturan ini disampaikan kepada roh leluhur mereka supaya roh tersebut memberikan perlindungan kepada si anak sebagai salah satu keturunannya yang hendak merantau. Tuturan Natoni bisa juga disampaikan ketika anak akan berangkat, lalu ayah menyampaikan tuturan itu tanpa disaksikan oleh orang lain kecuali anak.
“Ayah meminta kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan juga kepada leluhur (orang pertama yang masuk dan menguasai daerah itu), serta meminta dukungan orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal. Ayah berharap kepada leluhur agar leluhur selalu beradad di depan (mendahului) anak sebagai pembuka jalam / penunjuk dalam semua hal. Dengan adanya mereka didepan, semua masalah dapat diatasi dan semua aral melintang dapat dijauhkan. Sehingga, anak dapat sampai di tujuan dengan selamat. Selain itu, ayah memohon supaya anak itu diberi kecerdasan untuk menyinari kegelapan (diibratkan dengan bulan dan bintang), sehingga apa yang dilakukannya dapat berhasil. Keberhasilan anak itu diibaratkan dengan seorang petani yang bercocok tanam dan mengirik tuak atau lontar, kemudian petani itu memperoleh hasil yang melimpah. Si anak di harapkan juga memiliki keturunan yang banyak (dalam arti ilmu yang diperoleh dapat disebarluarkan dan diturunkan terus). Anak tersebut kembali kedaerahnya. Didaerahnya ia menjadi orang terpandang atau terhormat, orang yang berguna, dan menjadi seorang terpandang atau terhormat, orang yang berguna, dan menjadi seorang pemimpin yang terpimpin – dapat memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, memimpin kerabat, dan memimpin daerahnya. Dengan itu, ia dapat mengharumkan nama orang tua dan leluhur.
Interpretasi terhadap tutur Natoni tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarinya. Konteks tersebut mencakup penutur dan penutur (pelibat), latar sosial dan budaya, kepercayaan, pandangan hidup, tujuan, dll. Masyarakat Dawan sangat percaya bahwa ada kekuatan lain diluar kekuatan manusia. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal tetap ada dan dapat mengawasi perilaku manusia sekalipun secara fisik tidak tampak. Mereka senantiasa meminta pertolongan kepada leluhur.
Ilokusi dan perlokusinya adalah anak berpikir bahwa ia harus berhati-hati, penuh kesadaran dan penuh ketekunan dalam bertindak selama dia menuntut ilmu, sehingga ia akan berhasil dan kembali untuk membangun daerahnya, nama keluarga dan leluhur.
Berikut Tuturan Natoni dalam Bahasa Dawan:
Oii…… Ama Hitu mnasi,, Ena Hitu mnasi,
Ho es mpao,ho es mhat sis fafi lanan, ma mak ane lanan,
tanaskan lanan ma kalaiya lanan.
Neu Maubes (Insana) ma neu Oenun (Liurai),
Neuskin ma Oekin, neo talapan ma neo talafen,
neo papon noban fafein, teu sonaf pain na nae hit hot-hot,
teu neu nae hit bua ma teme, teu sonaf pan i hit hur-hur,
teu i hit bua ma teme, ho es mpao ho pah ma ho nifu,
aniut, loeram, ma aenta’u, lobus nok tubaik.
Ten-ten nok tau nais sio nok nunhala,
sene nok sikbula, sina hoekin ma sina salkina,
mpao ba lek leko, mhata lek leko.
Terjemahannya sebagai berikut :
Oiii…. Bapa Hitu dan Mama Hitu yang dituakan, kamu yang menjaga dan mengawal jalan makmur, bagus, mensejahterakan, berlimpah makanan, dan penuh dengan sirih pinang, untuk Maubes Tuan (Maubes Insana) dengan Oenun (Liurai). Agar jalan dan pintu tersebut tetap aman dan tentram supaya kalau kamu kesana kemari merasa nyaman dan menjadi satu kesatuan. Engkau yang menjaga wilayah Ainiut, Loeram, Aentau, Lobus dan Tubaki. Dan juga Tau Nais Sio dan Nunhala, sene dan sikbula, serta daerah aliran sungainya. Jagalah baik-baik dan peliharalah baik-baik.
Simpulan
Ilokusi dan perlokusi dalam kajian semantic memiliki peranan sangat penting terhadap tuturan Natoni pada masyarakat Dawan perlu dikuasi oleh setiap dalam berkomunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman pada saat berkomunikasi diantara pelibat pada era global ini. Begitu pula perlu adanya pembinaan pemahaman pada generasi muda agar mengerti ilokusi dan perlokusi tuturan Natoni pada masyarakat Dawan sebab tuturan Natoni sangat komplit dan susah untuk dimengerti apabila tidak dipahami dengan betul.
Saran
Kajian Ilokusi dan Perlokusi tuturan Natoni pada masyarakat Dawan ini merupakan langkah awal, sehingga masih masih banyak fenomena kelinguistikan belum terungkap secara tuntas. Hasil kajian ini bersifat tentative dan dan terbuka untuk penelitian-penelitian lanjutan, baik pada objek yang sama maupun objek yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J. L : 1975. How to Do Things with Words ; Calderon Press.
Beratha, Sutjiati, 2009; Bahan Kuliah Semantiki (unpublisehed), pada Program Studi Linguistik Murni, Universitas Udayana, Denpasar – Bali.
Leech, Geoofrey, 1983: Principles of Pragmatics. Longman.
Middelkoop, P. 1948. Proeve van een Timorese Gramatica
Searle, J. 1969. Speeach Acts. Cambridge : Cambridge University Press.
Searle, J. 1979. Expressing and Meaning. Stuides in the Theory of Speech Acts. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar